Staff Ahli Kapolri : Humas Polri Harus Adaptif Hadapi Serangan Digital dan Era Post-Truth
Semarang –
Staff Ahli Kapolri Bidang Media Sosial, Rustika Herlambang,
mengingatkan pentingnya kesiapan Humas Polri dalam menghadapi dinamika
komunikasi publik di era digital yang penuh tantangan, terutama
berkaitan dengan fenomena post-truth, disinformasi, dan serangan siber.
Hal ini disampaikan dalam Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Humas Polri
Tahun 2025 yang digelar di Akpol Semarang, Selasa (6/5/2025).
"Jejak
digital itu sangat kejam. Bisa saja reputasi institusi hancur hanya
dalam hitungan lima menit, apalagi di era media sosial yang ganas dan
masif," ujar Rustika membuka paparannya.
Ia menyampaikan bahwa
era sekarang menuntut Humas Polri tak sekadar menyampaikan informasi,
tetapi harus cerdas mengelola opini publik dan mampu mengidentifikasi
mana serangan digital yang bersifat organik dan mana yang direkayasa
atau tidak organik.
"Kalau serangan itu hanya di satu titik,
mungkin organik. Tapi kalau serentak di banyak titik dalam waktu
bersamaan, kita patut curiga. Bisa jadi itu difabrikasi, bahkan mungkin
dijalankan oleh bot atau AI," tegasnya.
Rustika menyoroti adanya
lonjakan tajam persebaran isu negatif terhadap Polri di media sosial
sejak November hingga Desember 2024. Berdasarkan data pemantauan,
tingkat eksposur negatif pada Polri meningkat hampir dua kali lipat
dibandingkan tren serangan digital sejak 2012.
Ia juga
menyinggung soal algoritma media sosial yang memperkuat polarisasi opini
publik. Menurutnya, algoritma bisa menjerumuskan pengguna pada satu
topik secara terus-menerus, memperkuat bias, dan menciptakan persepsi
massal yang tidak selalu faktual.
"Di era fast politic, informasi
bisa diviralkan tanpa fakta. Yang fakta bisa dianggap bohong, dan yang
bohong bisa dipercaya. Ini tantangan nyata humas," katanya.
Lebih lanjut, Rustika menekankan pentingnya seluruh anggota Polri menyadari bahwa mereka adalah bagian dari fungsi kehumasan.
"Semua
anggota Polri adalah humas. Maka kita harus punya literasi digital dan
kesadaran penuh akan dampak komunikasi, terutama di media sosial,"
ujarnya mengutip pernyataan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Sandi Nugroho.
Sebagai
ilustrasi, ia mengangkat contoh kasus "Sukatani", di mana satu akun
yang sebelumnya tak dikenal menjadi viral setelah menyampaikan kritik
dan kemudian mendapat respon dari aparat. Respons tersebut justru memicu
gelombang dukungan publik dan memperbesar isu di media sosial.
"Isu
yang sebelumnya tenang bisa meledak hanya karena cara kita merespons.
Dari situlah muncul tagar dan gerakan yang menyudutkan institusi,"
jelasnya.
Ia menutup paparannya dengan pesan bahwa strategi
komunikasi Humas Polri harus berbasis data, adaptif terhadap teknologi,
dan mampu membangun kepercayaan publik secara konsisten.
"Menang
di lapangan tidak cukup. Kita juga harus menang dalam persepsi publik,
dan itu hanya bisa dicapai kalau kita menguasai arena komunikasi
digital," pungkas Rustika.
(red.a)
Comments
Post a Comment